1. DEFINISI NIKAH
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
2. DASAR HUKUM NIKAH
Dasar hukum pernikahan terdapat dalam Al-Quran surat An-Nuur ayat 32 :
…..
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan . . . ."
3. TUJUAN NIKAH
Adapun tujuan nikah terdapat dalam Al-Quran surat A-Ruum ayat 21 :
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka
4. HUKUM NIKAH
Dilihat dari keadaan orang yang akan melangsungkan pernikahan maka hukum nikah itu ada lima, sebagai berikut.
a. Jaiz, artinya diperbolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum pernikahan
b. Sunah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk nikah dan mempunyai bekal hidup untuk membiayai orang yang menjadi tanggungannnya.
c. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai keinginan untuk nikah tapi belum mempunyai bekal hidup untuk membiayai (nafkah) bagi orang yang menjadi tanggungannya.
d. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai bekal hidup untuk memberi nafkah dan adanya kekhawatiran terjerumus dalam perbuatan maksiat atau zina bila tidak segera menikah.
e. Haram, yaitu bagi orang yang akan melangsungkan pernikahan itu mempunyai niat buruk, seperti niat buruk untuk menyakiti pasangan yang akan dinikahinya.
5. HIKMAH NIKAH
a. Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam sabdanya:
“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima’ dan biayanya) maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)
“Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya.” (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)
c. Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan asusila. Maka mempermudah pernikahan syar’i adalah solusi dari semu itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Hakim, hadits shahih)
d. Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga, dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.
e. Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. Ar Ra’d:38)
f. Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan syahwat dengan penuh ketenangan.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
g. Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan adanya anak.
h. Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.
i. Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
6. RUKUN NIKAH
Untuk sahnya sebuah pernikahan, ada empat rukun yang harus dipenuhi :
a. Wali, yaitu ayah, istri atau wali yang mengurus wasiat kerabat yang paling dekat dari golongan ahli waris ashabah, atau yang dianggap paling mampu diantara keluarganya. Bila itu semua tidak ada maka perwalian tersebut bisa diwakilkan kepada hakim setempat. Dalam hal ini diutamakan seorang wali yang mukmin dan sholih.
b. Saksi, minimal berjumlah dua orang laki-laki. Keduanya harus hadir pada saat akad nikah dilaksanakan. Syarat saksi tersebut adalah laki-laki mukmin yang adil dan dapat diterima kesaksiannya.
c. Sighat aqad, yaitu ucapan-ucapan calon suami kepada wali.
d. Adanya mahar, yaitu sesuatu yang diberikan kepada calon istri untuk menghalalkan bergaulan dengannya. Dan mahar ini wajib hukumnya.
7. SIAPA SAJAKAH YANG HARAM UNTUK DINIKAHI
Tujuh orang karena nasab (keturunan), yaitu
a) ibu, nenek, dan seterusnya sampai keatas, bapak kakek dan seterusnya
b) anak, cucu dan seterusnya ke bawah
c) saudara seibu dan sebapak, sebapak dan seibu saja
d) saudara dari bapak
e) saudara dari ibu
f) anak dari saudara laki-laki dan seterusnya
g) anak dari saudara perempuan dan seterusnya
Dua orang dari sebab menyusu, yaitu
a) ibu yang menyusui
b) saudara sepersusuan
Lima orang dari sebab perkawinan, yaitu
a) ibu dari istri atau bapak dari istri (mertua)
b) anak tiri apabila orang tuanya sudah dicampuri (digauli)
c) istri/suami dari anak (menantu)
d) orang tua tiri
e) mengumpulkan bersama-sama antara dua orang yang bersaudara dalam satu waktu.
PERMASALAHAN DALAM NIKAH
1. PROBLEM SEPUTAR PERNIKAHAN
Problema di seputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga berada di sekitar:
a. Kesulitan memilih jodoh/kesulitan mengambil keputusan siapa calon suami/isteri;
b. Ekonomi keluarga yang kurang tercukupi;
c. Perbedaan watak, temperamen dan perbedaan kepribadian yang terlalu tajam antara suami isteri;
d. Ketidak puasan dalam hubungan seksual;
e. Kejenuhan rutinitas;
f. Hubungan antar keluarga besar yang kurang baik;
g. Ada orang ketiga, atau yang sekarang popular dengan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) selingkuh;
h. Masalah Harta dan warisan;
i. Menurunnya perhatian dari kedua belah pihak suami isteri;
j. Dominasi dan interfensi orang tua/ mertua;
k. Kesalah pahaman antara kedua belah pihak;
l. Poligami;
m. Perceraian.
Cara Mengatasi Masalah Pernikahan Melalui Konseling
Dari berbagai problem kerumah tangaan seperti tersebut diatas, maka konseling perkawinan menjadi relevan, yakni membantu agar client dapat menjalani kehidupan rumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk mengingat atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.
Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan:
a. Membantu pasangan perkawinan itu mecegah terjadinya/meletusnya problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
b. Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
c. Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.
2. NIKAH SIRI
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
DAMPAK POSITIF :
1. Meminimalisasi adanya seks bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
DAMPAK NEGATIF :
1. Berselingkuh merupakan hal yang wajar
2. Akan ada banyak kasus Poligami yang akan terjadi.
3. Tidak adanya kejelasan status isteri dan anak baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.
4. Pelecehan seksual terhadap kaum hawa karena dianggap sebagai Pelampiasan nafsu sesaat bagi kaum laki-laki.
Maka dengan demikian jika dilihat dari dampak-dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negativf di banding dampak positifnya. Serta Akibat hukum dari nikah siri itu sendiri :
1. Sebagai seorang istri kita tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
2. Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. “seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan terkatung-katung. Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran. Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3. Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun istri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan suaminya tersebut.
3. NIKAH MUT’AH (NIKAH KONTRAK)
Nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
KRITERIA ISTRI SHOLIHAH / IDEAL
1. Cantik
Soal kecantikan, wajar lelaki normal ingin mendapatkan isteri cantik. Tetapi bukan hanya cantik lahir, batinnya juga harus cantik. Yang menjadi pertanyaan, standar apakah yang akan digunakan untuk menilai seorang perempuan cantik. Standar dunia atau standar surga? Standar dunia menekankan kecantikan maya. Mengandalkan kosmetik. Kecantikan abadi, keindahan hingga akhir hayat dan di akhirat kelak, itulah yang seharusnya dicari. Terserah cantik atau tidak kata dunia, yang penting isteri bisa selalu menarik di mata, di hati. Menjadi telaga sejuk, pohon teduh di terik siang. Standar cantik ini sifatnya personal. Orang lain memandang biasa, tapi luar biasa menurut sang suami.
2. Cerdas
Ia memiliki wawasan yang luas, sehingga bisa diajak bertukar pikiran oleh suami. Di samping itu, jika diajak berbicara itu bisa nyambung. Istri yang cerdas juga bisa mengatur ekonomi rumah tangga, sehingga pengeluaran bisa diatur lebih bijaksana. Kecerdasan secara hereditas tentunya akan menurun kepada anak-anak mereka, karena menurut hasil penelitian, 80 % kecerdasan anak diturunkan dari pihak ibu.
3. Selalu Menjaga Kebersihan
Kebersihan lebih kekal daripada kecantikan. Karena istri yang tidak lagi memperhatikan kebersihan jelas akan membuat suami bosan dan tidak betah di rumah, bahkan tak menutup kemungkinan suami akan lari mencari tempat lain yang bersih, apik dan asri.
4. Matang
Matang baik secara emosional maupun sosial. Ia seharusnya telah mampu berlepas dari ketergantungan kepada orang yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya (orang tua). Ia juga mampu untuk hidup bermasyarakat, mampu bersikap luwes dengan orang lain.
5. Mandiri
Mandiri baik dalam sikap dan prinsip. Ia tidak mudah berkeluh kesah dengan saat ditimpa ujian dalm rumah tangga. Ia juga tidak akan plin plan dalam menentukan keputusan. Dalam hal finansial, mandiri juga penting karena tidak bisa dipungkiri bahwa hidup itu juga butuh biaya apalagi setelah adanya kehadiran anak yang membutuhkan biaya pendidikan dan lain-lain.
6. Sabar dan Menerima Apa Adanya
Tidak menuntut banyak suaminya untuk melakukan hal-hal diluar kemampuan sang suami. Untuk itu dituntut kepandaian istri untuk mengatur kebutuhan rumah tangga, sehingga apa yang diberikan suami terasa cukup. Para istri rasanya wajib menyimak perkataan luhur ketika mengantar suami yang hendak pergi mencari nafkah ; “Janganlah mencari harta yang haram. Sungguh kami sabar menderita kelaparan, tetapi kami tidak ingin hidup dalam neraka.”
7. Pandai Menjaga Perasaan Suami
Berakhlak baik, selalu tampil baik dalam setiap kesempatan. Bertutur kata yang dapat menyenangkan hati suami, tidak pernah menampakkan kesedihan dan kepahitan hidup, semua dihadapi dengan tutur halus dan senyum manis menawan. Dia harus menunjukkan perilaku yang lemah lembut, penuh cinta dan hormat kepada suami.
8. Pandai Menjaga Perkataan
Seorang istri harus selalu menjaga perasaan suaminya, selalu merasa senasib sepenanggungan. Menjaga lidah atau memilih ucapan yang tidak menyakitkan pada siapa pun yang mendengarnya.
9. Pandai Bersyukur
Dengan selalu berterima kasih atas apa yang telah dilakukan suaminya , akan menumbuhkan rasa cinta dan dorongan bagi suami untuk berbuat lebih baik lagi bagi keluarganya. “Wanita yang paling baik adalah wanita yang jika diberi berterima kasih, tetapi jika tidak diberi dia bersabar”.
10. Menjadi Pendidik Anak
Dengan tidak menyerahkan kepada orang lain, tugas mulia ini merupakan bagian dari misi wanita dalam membangun masyarakat. “Wanita (istri) adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
11. Pintar Memasak
Mempunyai istri yang pintar memasak adalah anugerah terindah untuk setiap pria. Karena dengan adanya istri yang pintar memasak, maka suami akan betah di rumah, sehingga tidak akan membeli makanan di luar. Hal ini akan menjaga keharmonisan rumah tangga sekaligus menghemat pengeluaran.
KARAKTERISTIK WANITA SHOLIHAH
1. Tekun beribadah kepada Allah dan selalu membersihkan dirinya dari setiap dosa dan kekurangan, dengan banyak memohon ampunan kepada Allah dan berdoa kepada-Nya.
2. Menghiasi diri dengan sikap malu dan tawadhu’, jujur dan benar, tidak berkata dusta atau bersumpah palsu, memenuhi janji dan nazarnya, tidak suka mengghibah dan mencela kekurangan orang lain.
3. Bersikap anggun namun tetap berwibawa, tidak jorok dan kotor serta selalu menjaga kebersihan lahir dan batin.
4. Tidak berkhalwat dengan selain mahramnya, ikhtilath dengan lawan jenis dan menghadiri segala perkumpulan yang di dalamnya terdapat kemaksiatan terhadap Allah dan rasul-Nya.
5. Sangat mencintai terhadap sesama, terutama kepada kerabat-kerabatnya, tidak angkuh kepada mereka dan selalu memberikan perhatian dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Qiblati Edisi 05 tahun II/ 1428H
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1820984-masalah-perkawinan/
http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg00971.html
http://irmadevita.com/2009/akibat-hukum-dari-nikah-siri
http://hbis.wordpress.com/2007/11/28/munakahatmasalah-pernikahan/
http://konsultasi.wordpress.com/2009/03/14/hukum-islam-tentang-nikah-siri/
http://www.mui.or.id/konten/kawin-kontrak
http://tehaha.wordpress.com/2008/05/08/tentang-istri-ideal/
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100114085936AA6GxQc
sumber: makalah aik8 dari sahabat saya ajik